Main Article Content

Abstract

Manusia menurut kodratnya adalah sebagai mahkluk social, yang menurut konsepsi Aristotles disebut dengan zoon politicon, artinya manusia itu tidak akan dapat hidup sendirinya tanapa bantuan orang lain. Sebagai konsekuensinya manusia dalam hidup selalu membutuhkan pertolongan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, baik itu kebutuhan materil maupun kebutuhan spiritual. Disamping itu manusia di dalam hidupnya mengalami tiga peristiwa penting yaitu pada waktu ia dilahirkan, pada waktu ia melangsungkan perkawinan dan pada waktu ia meninggal dunia. Pada waktu seseorang dilahirkan timbul tugas baru di dalam keluarganya. Didalam artian sosiologis, ia menjadi pengemban dari hak dan kewajiban.
Setelah dewasa ia akan bertemu dengan teman hidupnya dan didalam keadaan yang normal ia kawin dengan maksud untuk membangun dan menunaikan dharma baktinya yaitu tetap melangsungkan keturunan. “Dengan perkawinan akan timbul ikatan yang berisi hak dan kewajiban seperti kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, setiap kepada satu sama lain, kewajiban untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya”.
Menurut ketentuan pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa, namun dalam perjalananperkawinan kemungkinan pembubaran perkawinan terjadi sehingga keturunannya menjadi memerlukan seorang wali yang pada dasarnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Keywords

Peran Wali, Harta Warisan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Article Details