Main Article Content

Abstract

Untuk mempertahankan hak dan memenuhi kewajiban seperti yang telah diatur dalam Hukum Perdata, orang tidak boleh bertindak semaunya saja, tidak boleh menghakimi sendiri (arbitrary action), melainkan harus berdasarkan peraturan hukum yang telah ditentukan atau didalam undang-undang. Apabila pihak yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan sendiri tuntutannya secara damai, maka dapat menyelesaikannya dengan meminta bantuan hakim dan cara penyelesaiannya melalui pengadilan. Dalam membuktikan suatu kebenaran, seorang hakim akan mempergunakan alat-alat bukti sebagai dasar dalam memutus perkara tersebut, dimana pada pasal 132 HIR, menunjuk pada salah satu keaktifan hakim, yang memberikan wewenang kepada hakim, apabila dianggap perlu untuk kelancaran pemeriksaan, untuk memberikan petunjuk-petunjuk yang perlu dan meminta perhatian para pihak tentang dasar-dasar hukum serta alat-alat bukti yang oleh mereka dapat dipergunakan (R.Subekti, 1992, h. 42). Untuk itu ada beberapa macam alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu menurut ketentuan pasal 164 HIR yaitu : bukti surat, bukti saksi, bukti persangkaan, bukti pengakuan, dan bukti sumpah. Kesemuanya dengan memperhatikan ketentuan yang diterangkan pada pasal 1866 KUHPerdata, yaitu alat-alat bukti terdiri atas : bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaanpersangkaan, pengakuan dan sumpah. Menurut pasal 1925 KUHPerdata menyatakan bahwa pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim adalah memberikan bukti yang sempurna memberatkan orang yang mengucapkannya, baik sendiri, maupun dengan bantuan orang lain, yang khusus dikuasakan untuk itu. Bunyi pasal tersebut dapat diartikan kalau tergugat mengakui bahwa tuntutan dari pada penggugat tersebut adalah benar, maka hakim harus mengabulkan tuntutan penggugat, dan ia tidak boleh menyadarkan pada keyakinannya sendiri.

Keywords

Penilaian dalam Proses Perkara Perdata, Undang Undang Kehakiman.

Article Details