Main Article Content
Abstract
Mengingat Hukum pidana materiil sendiri adalah hukum pidana yang menunjukkan peristiwa- peristiwa pidana beserta hukumannya. “Sedangkan peristiwa pidana adalah tindakan-tindakan yang oleh Undang-Undang dengan tegas dapat dikenai hukuman (Van Apeldoorn, 2000 : 324) Untuk mendeskripsikan keterkaitan antara keduanya, maka dapat dilihat pada ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyebutkan bahwa : Setiap orang dilarang menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan dalam hutan tanpa hak atau ijin dari pejabat yang berwenang. Berdasarkan Pasal 78 ayat (3) Undang-Undang ini, apabila unsurunsur di atas terpenuhi, maka pelaku dapat dihukum dengan pidana penjara paling banyak 10 tahun (sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah). Ketentuan kedua Pasal ini merupakaan ruang lingkup hukum pidana materiil dimana ketentuan tersebut menentukan tentang perbuatan yang dapat dipidana (menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang), subyek atau pelaku yang dapat dijatuhi pidana (setiap orang = siapa saja yang melakukan perbuatan menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang), dan lamanya pidana yang dijatuhkan (pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah). Sedangkan ruang lingkup hukum acara pidana ada di dalam proses pembuktian unsur-unsur dalam hukum pidana materiil yang bertujuan untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang hakiki. Proses ini mulai dilakukan pada tingkat penyidikan oleh Kepolisian, tingkat penuntutan oleh Kejaksaan dan pada saat diadili oleh Majelis Hakim di tingkat peradilan. Proses ini tidak berhenti sampai disini saja karena masih ada upaya hukum yang dapat diajukan oleh salah satu pihak baik terdakwa maupun penuntut umum yang merasa tidak puas dengan putusan Hakim dalam suatu persidangan.